Thursday, 16 December 2010
Narsisme
Sebenarnya apa itu narsis? Menurut artikel yang saya baca dulu, istilah narsis pertama kali dikenalkan oleh Sigmund Freud. Kata narsis berasal dari nama seorang pemuda Yunani bernama Narcissus yang jatuh cinta kepada bayangan dirinya sendiri di sebuah kolam. Saat ia mencoba untuk menjulurkan tangan kepada bayangannya, ia jatuh ke dalam kolam dan tenggelam, setelah itu tumbuhlah bunga yang dinamakan narsis. Oleh karena itu, selama ini kebanyakan masyarakat Indonesia telah melakukan fallacy. Term yang dimaksudkan adalah narsisis, bukan narsis yang merupakan nama sebuah bunga.
Narsisme sendiri bukanlah sekedar rasa cinta berlebihan kepada diri sendiri. Narsisme adalah sifat egois, atau self-pride yang berlebihan pada suatu individu. Sedangkan narsisme pada kelompok sosial diartikan sebagai elitism, atau kurangnya simpati dan perhatian yang dapat merugikan orang lain. Individu atau kelompok yang mengalami gejala tersebut disebut dengan narsisis. Menurut Freud, narsisme sudah merupakan bawaan setiap manusia sejak lahir.
Andrew P. Morrison mengatakan bahwa jumlah narsisme yang cukup dapat menyeimbangkan persepsi individual tentang kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain. Narsisme seperti ini disebut juga dengan healthy-narcissism. Sebaliknya, unhealthy-narcissism adalah jumlah narsisme yang berlebihan pada diri seseorang yang menyebabkan kurangnya perhatian pada hubungan interpersonal. Orang yang menderita unhealthy-narcissism sulit membangun hubungan interpersonal karena ia merasa dirinya yang paling benar sehingga sulit untuk menghargai orang lain. Orang seperti ini biasanya tidak memiliki teman yang tetap, atau bahkan tidak mempunyai teman sama sekali.
Jadi, ada dua hal yang perlu diluruskan. Pertama, orang yang memiliki jumlah narsisme berlebihan disebut dengan narsisis, bukan narsis yang merupakan nama bunga. Kedua, apabila ada teman kita yang suka memajang fotonya sendiri tetapi mempunyai hubungan interpersonal yang baik, maka ia bukanlah seorang narsisis, melainkan seseorang yang memiliki healthy-narcissism. Ingat kata Freud bahwa narsisme sudah merupakan bawaan manusia sejak lahir. Seseorang baru dapat digolongkan sebagai narsisis apabila tindakannya mengarah pada egoisme yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, berpikirlah sebelum menggunakan term narsisme, jangan sekedar percaya pihak otoritas.
Sumber:
- “Narcissism”
(http://en.wikipedia.org/wiki/Narcissism, diakses 30 November 2010)
Penyewaan Rahim
Ibu pengganti adalah wanita yang “menyewakan” rahimnya untuk mengandung anak biologis pasangan lain. Ibu pengganti dibagi menjadi 2 jenis, ibu pengganti penuh dan ibu pengganti parsial. Ibu pengganti penuh mengandung anak dari pihak wanita yang infertile (mandul), inseminasi bisa dilakukan secara tidak langsung atau langsung (hubungan seksual), sperma didapat dari pasangannya atau donor. Sementara ibu pengganti parsial mengandung anak hasil sel telur wanita lain yang sudah dibuahi oleh pasanganya atau sperma donor dan ditanam ke rahim ibu pengganti. Saya pribadi lebih memilih menggunakan jasa ibu pengganti parsial.
Menggunakan ibu pengganti (parsial) memang terlihat menyenangkan bagi saya. Karena saya dan pasangan nantinya bisa mempunyai anak tanpa harus susah-susah menghadapi gejala kehamilan seperti mual-mual, bertambahnya berat badan, dan membengkaknya bagian-bagian tubuh tertentu ditambah lagi rasa sakit saat melahirkan. Tetapi setelah melihat ongkos “penyewaaanya” saya mulai ragu untuk menjadikannya sebagai suatu pilihan. Untuk melakukan IVF/ET (in vitro fertilization/embryo transfer) atau ibu pengganti parsial, minimal saya harus mempunyai uang sebanyak $60,000 (sekitar 540 juta rupiah). Jauh lebih mahal daripada ongkos bersalin secara normal di rumah sakit yang paling mewah sekalipun di Jakarta (sekitar 25 juta rupiah). Belum lagi untuk membangun koneksi antara calon orang tua dan bakal anak, kita harus menjaga relasi yang baik dengan ibu pengganti tersebut. Yang lebih anehnya lagi, setelah anak tersebut lahir, ibu pengganti bisa bertemu dengan anak yang dilahirkannya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Selain kedua alasan diatas, menurut saya, penggunaan term inseminasi terkesan menyamakan manusia dengan hewan ternak. Sebagai orang timur, saya menganggap hal-hal tersebut masih sulit untuk diterima.
Ternyata menggunakan jasa ibu pengganti tidak seindah yang saya bayangkan. Mengandung 9 bulan dan melahirkan dengan rasa sakit memang masih terasa menyeramkan bagi saya, tetapi menggunakan surrogate mother sudah berada di urutan terakhir di daftar pilihan saya dalam memperoleh keturunan. Ternyata masih ada alternatif lain dalam melahirkan tanpa rasa sakit seperti water birth. Saya tidak tahu apakah surrogacy sudah legal di Indonesia apa belum. Tetapi, entah itu legal atau illegal, menggunakan jasa ibu pengganti baru menjadi pilihan saya apabila cara yang lain sudah benar-benar tidak dapat berhasil.
Sumber :
- “Compare Options”
(http://www.duniawedding.com/menu-utama/love-nest/1372-ibu-pengganti,
diakses 28 November 2010)
- “Ibu Pengganti”
(http://www.duniawedding.com/menu-utama/love-nest/1372-ibu-pengganti,
diakses 28 November 2010)
Kreativitas Pengemis
Kejadian seperti itu tidak hanya sekali saya alami. Suatu hari saya dan ayah saya sedang makan siang di stasiun gambir. Saat itu ada seorang anak kecil duduk tak berdaya di depan restaurant. Satu kakinya hilang, ia terus menerus memohon belas kasih dari kami. Karena merasa kasihan, saya meminta uang lima ribu pada ayah saya dan memberikannnya kepada anak tersebut. Kejadian yang satu ini berakhir dengan cara yang lebih konyol. Setelah diberi uang, tiba-tiba anak tersebut berdiri dengan satu kaki sambil cekikikan, melepas celananya, dan meluruskan kaki satunya yang ternyata tidak hilang (melainkan dilipat di dalam celana) dan berlari ke arah teman-temannya. Ayah saya berkata (dalam bahasa manado), “Tadi kita so tau kalo broer kacili itu nyanda batul, makanya nyanda kita kaseh doi” Benar juga kata ayah saya. Saya merasa malu bisa tertipu oleh anak kecil (yang kemungkinan besar tidak bersekolah) itu.
Masih ada pengalaman-pengalaman “akting” lainnya yang membuat saya kagum dan tidak dapat diceritakan semuanya disini. Setelah saya amati, menjadi pengemis sudah merupakan pilihan profesi bagi kaum proletar. Memang menjadi pengemis terlihat sebagai pekerjaan yang mudah. Tetapi menurut saya, menjadi pengemis juga membutuhkan skill. Contoh kasus di atas merupakan bukti “kreativitas” pengemis. Mereka berusaha agar terlihat lebih memprihatinkan atau melas sehingga memperoleh keuntungan yang lebih banyak dari belas kasihan orang-orang seperti saya dan kakak saya.
Sebenarnya memberikan sedekah itu benar atau salah? Menurut saya jawaban dari pertanyaan itu (seperti kata Mas Dewa) terletak di wilayah abu-abu. Kalau kita memberi, kesannya kita membuat pengemis tersebut menjadi pemalas dan tidak berkembang menjadi seseorang yang lebih berguna. Kalau kita tidak memberi kemungkinan akan memicu berkembangnya skill mengemis sehingga mereka berusaha mencari cara agar terlihat lebih melas, atau bahkan menyebabkan mereka beralih profesi menjadi seorang kriminal. Oleh karena itu, memberi atau tidak memberi kembali kepada kita masing-masing. Toh tidak ada ruginya memberikan sepersekian dari apa yang kita miliki. Sebagai orang-orang yang terdidik, kita semestinya dapat lebih cermat membedakan mana yang benar-benar membutuhkan dan yang hanya berpura-pura membutuhkan.
Thursday, 25 November 2010
Kewirausahaan di Indonesia
Mereka yang tidak mempunyai pekerjaan (baik karena PHK, susah memperoleh pekerjaan, ataupun karena kemauannya sendiri), berusaha mencari jalan keluar dengan cara mengembangkan usaha secara independen. Banyak dari mereka berhasil dan bahkan memberi kontribusi yang tidak sedikit jumlahnya bagi pendapatan perkapita negara, merekalah wiraswastawan yang berhasil. Para wiraswastawan yang berhasil adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk melihat peluang jangka panjang yang tidak dilihat dari kacamata orang kebanyakan, dan juga dapat membuat keputusan jangka pendek yang tepat. Tujuan mereka bukan hanya memperoleh keuntungan ekonomi bagi diri mereka sendiri, tetapi juga berpartisipasi dalam memajukan kehidupan sosial masyarakat disekitarnya.
Sebut saja nama salah satu wiraswastawan yang berhasil, Tri Mumpuni. Tri Mumpuni bersama suami, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PLN dengan memanfaatkan energi air untuk menggerakan turbin. Melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) yang mereka dirikan, ia berhasil memberi penerangan di beberapa lokasi di Indonesia dan satu lokasi di Filipina.
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kewirausahaan yang dihadiri para wiraswastawan mancanegara bulan April lalu, Obama sempat memberi pujian untuk para wiraswastawan Indonesia khususnya Tri Mumpuni. "Kita punya wiraswastawan sosial seperti Tri Mumpuni yang membantu masyarakat pedesaan di Indonesia dengan membangkitkan listrik, dan penghasilan, dari tenaga air" ungkap Obama. Dalam kesempatan yang sama Presiden Obama juga mengatakan bahwa aktor utama yang mengarahkan Ekonomi Indonesia selain pemerintah adalah wiraswastawan. Menurutnya, Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi salah entities ekonomi terbesar di dunia.
Masih banyak wiraswastawan hebat lainnya seperti Ananda Siregar (Pendiri BlitzMegaplex), dan Sandiaga Uno yang ikut memberi sumbangsih bagi kemajuan negara. Indonesia masih membutuhkan orang-orang seperti mereka dalam membangun bangsa. Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak menyadari kemajuan bangsanya sendiri. Bahkan pihak asing justru lebih mengapresiasi kemajuan kita. Oleh karena itu hasil karya wiraswastawan banyak di eksport ke luar negeri. Apabila kita melihat secara lebih objektif dan menjauhkan diri dari prasangka yang tidak beralasan, masih banyak hal yang bisa kita apresiasi di Indonesia selain kewirausahaannya.
Saturday, 6 November 2010
Resensi Film Little Prince
Pada tanggal 25 Oktober 2010, saya berkesempatan untuk menonton film Little Prince. Film ini merupakan interpretasi dari sebuah novel karya Saint-Exupery pada tahun 1943. Film yang dibuat pada tahun 1974 ini mengisahkan tentang pertemuan seorang pilot dan Little Prince yang berasal dari planet lain. Pesan-pesan terselubung dari setiap adegan dan juga dialog yang menggunakan kalimat-kalimat yang begitu inspirasional merupakan kelebihan dari film ini. Hanya saja saya dibuat bosan oleh terlalu banyak musikalisasi dari plot-plot film yang menurut saya tidak begitu penting. Charm dari pesan-pesan yang terkandung dari film ini justru terlihat konyol dengan musikalisasi yang berlebihan. Tetapi saya juga menyadari bahwa film ini dibuat pada tahun 1974, perbedaan waktu mungkin mempengaruhi perbedaan pengemasan cerita karena dipengaruhi oleh selera pasar pada masa itu.
Begitu banyak pesan yang disampaikan dalam film ini. Tetapi pesan yang paling penting adalah jangan biarkan kedewasaan membuat kita berhenti bermimpi. Pada awal cerita dikisahkan si pilot yang sebenarnya mempunyai bakat menggambar saat ia kecil, tetapi karena tanggapan orang dewasa yang negatif mengenai hal tersebut, ia pun merubah cita-cita nya untuk dapat menyesuaikan diri dengan kedewasaan. Saat dewasa, si pilot tumbuh menjadi penyendiri dan tidak punya teman, sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Little Prince yang membuka matanya untuk dapat bermimpi kembali. Ide pokok dari film ini adalah penggambaran dunia dari sudut pandang seorang anak. Dunia yang kita gambarkan sekarang selalu berhubungan dengan kekuasaan, teknologi, kekayaan material, dan lain-lain. Menjadi dewasa tidak berarti kita harus tenggelam dalam pola pikir duniawi tersebut, tujuan utama kita adalah untuk menangkap arti kehidupan yang sebenarnya. Seperti yang dikatakan oleh Fox kepada Little Prince saat mereka berpisah, “What’s essential is invisible to the eye”
Topik yang dibahas menurut saya masih relevan dengan kehidupan masa kini. Kisah ini merupakan analogi dari kehidupan masa kini yang dibutakan oleh hal-hal duniawi. Misalnya dalam perjalanan Little Prince menuju bumi, ia sempat mengunjungi 4 planet. Penghuni dari setiap planet menggambarkan secara jelas bagaimana manusia saat ini. Planet pertama dihuni oleh seorang raja yang sangat excessively-concern dengan perbatasan wilayah di planetnya yang sangat sempit, raja tersebut menggambarkan bagaimana dunia dibutakan oleh kekuasaaan. Planet kedua dihuni oleh penghitung bintang yang menggambarkan bagaimana manusia sibuk mencari kekayaan. Planet ketiga dihuni oleh seorang pustakawan yang mengaku bahwa ia adalah ahli dari semua ilmu pengetahuan, hal ini menggambarkan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan membuat manusia semakin sombong dan tidak peduli dengan keadaaan di sekitarnya. Planet yang keempat dihuni oleh seorang tentara yang menyukai kekerasan, hal ini menggambarkan banyaknya perang yang merugikan manusia hanya untuk mempertahankan pride.
Film ini mengandung begitu banyak pesan yang berharga, sayangnya alur cerita disampaikan secara bertele-tele. Cara penyampaiannya yang ‘unik’ khususnya di bagian musikalisasi yang dilengkapi dengan tarian-tarian absurd, membuat penonton seperti saya ingin menekan tombol fast-forward ke bagian selanjutnya. Bagian-bagian absurd tersebut malah membuat saya bingung dan tidak menangkap pesan yang dimaksud. Misalnya saat Little Prince menghilang, dalam keadaan tegang tersebut si pilot malah bernyanyi sambil berlari-lari di tengah gurun Sahara untuk mencarinya. Tidak lupa perubahan wujud ular dan fox menjadi manusia yang tidak konsisten, sebentar manusia lalu tiba-tiba kembali menjadi binatang. Menurut saya adegan-adegan tersebut tidak dikemas dengan pemikiran yang matang, dan hanya membuat penonton bingung.
Dalam keutuhan pembahasan ada satu hal yang tidak dijelaskan, yaitu bagaimana Little Prince diserang oleh ular hingga sekarat. Dalam film hanya diperlihatkan Little Prince yang sudah lemas di pohon ular. Padahal di dalam bukunya, dijelaskan bahwa Little Prince sempat bernegosiasi dengan ular untuk dapat mengembalikannya ke planet asal. Tetapi syarat agar ia bisa kembali, Little Prince tidak dapat membawa serta tubuhnya. Penjelasan dari buku itu yang membuat saya akhirnya mengerti dengan perkataan Little Prince kepada si pilot sebelum ia meninggal “I will simply leaving behind a shell and there is nothing sad about shells” Sepotong adegan yang tidak ada, begitu mempengaruhi kesimpulan saya mengenai akhir cerita dalam film ini.
Menurut saya film Little Prince juga memiliki unsur-unsur praktis bagi kehidupan kita sehari-hari. Satu hal yang saya pelajari yang menurut saya berguna adalah untuk mensyukuri apa yang telah kita miliki sekarang ini. Little Prince sepanjang perjalanannya menyesali mengapa ia meninggalkan bunga yang ia cintai sendirian di planetnya. Sampai-sampai ia mengatakan pada si pilot “The only thing that I learn during the time I leave her, is I cannot live without her” Pada akhir cerita juga digambarkan bagaimana Little Prince rela mengorbankan raganya agar dapat kembali bertemu dengan bunga yang ia cintai. Hal ini mengajarkan saya untuk dapat lebih menghargai apa yang telah saya miliki sekarang seperti keluarga dan teman. Seringkali kita merindukan sesuatu yang sudah tidak kita miliki lagi, seperti Little Prince merindukan bunganya.
The Role of Punishment in Shaping Behavior
Punishment atau hukuman adalah teknik aversive yang sudah digunakan oleh manusia sejak dahulu. Hukuman digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku dan tindakan yang tidak sesuai (unwanted behavior). Sampai sekarang banyak kontroversi tentang penggunaan hukuman yang tepat. Tidak jarang hukuman sangat berat digunakan untuk masalah pelanggaran yang sepele, vice versa . Tapi yang menjadi pokok utama disini adalah apakah punishment adalah teknik yang tepat? seperti apa peran punishment di dalam membentuk kepribadian manusia?
Bentuk punishment yang tepat tidak bisa disamaratakan kepada semua pelaku. Kita harus dapat mendalami secara betul apa kesalahannya, alasan ia melakukan tindakan tersebut, dan bagaimana latar belakang mentalnya. Tetapi, masih banyak sekali punishment yang tidak didasarkan oleh ketiga hal tersebut. Menurut saya punishment memang sarana yang efektif untuk mengurangi atau meneleminasi perilaku dan tindakan yang tidak sesuai, tetapi apakah punishment adalah sarana yang tepat dalam membentuk kepribadian yang diinginkan? 5 referensi dibawah ini mencoba untuk menjelaskan hipotesis mengenai penggunaan punishment tersebut.
Dalam referensi yang pertama dijelaskan mengenai definisi dari punishment. Menurut Holth (2005), terdapat dua definisi dari punishment dalam literatur behavior-analytic. Definisi yang pertama adalah menurut Skinner (1953) dalam Science and Human Behavior. Menurutnya, punishment adalah prosedur dimana respon diikuti oleh penghapusan reinforcer positif atau pemberian reinforcer negatif (stimulus aversive). Definisi yang kedua adalah menurut Azrin dan Holz (1966). Mereka mendefinisikan punishment sebagai prosedur dimana respon tertentu memiliki konsekuensi, lalu frekuensi respon tersebut semakin berkurang, karena disebabkan oleh hubungan antara respon dan konsekuensi, dan bukan disebabkan hal lain.
Selanjutnya, referensi kedua ini lebih mengelaborasi bagaimana posisi B.F Skinner dalam penggunaan punishment untuk membentuk behavior. Menurut Paul Kix (2008) Skinner tidak menyetujui penggunaan punishment dalam kasus dimana reward dan pendekatan edukasi masih bisa diterapkan. Pada buku Science and Human Behavior, ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat zaman sekarang, penggunaan punishment hanya sebatas untuk mengontrol behavior dan tidak lebih. Selanjutnya dalam Walden Two, Skinner juga menggambarkan bahwa komunitas yang ideal itu mencoba untuk menghindari penggunaan punishment. Menurut studi riset yang dilakukannya, ia menunjukan bahwa dalam kondisi tertentu punishment hanya memberi efek yang sementara. Sebaliknya, riset terbaru yang dilakukan oleh para ahli psikologi behavior menunjukan bahwa reward, sama seperti punishment, juga menghasilkan efek yang sementara. Punishment yang kuat secara relatif memiliki efek permanen. Tetapi riset tersebut tidak menunjukan bahwa reward yang kuat secara relatif juga memiliki efek yang permanen. Pada suatu kesempatan, Skinner menyatakan bahwa penghapusan aversive boleh dilakukan apabila sudah ada yang dapat menggantikan perannya. Sebagai contohnya, ia menjelaskan bagaimana kita tidak dapat secara mudah meneliminasi keberadaan polisi dan tentara, kecuali kita sudah memiliki sesuatu untuk menggantikan tugas mereka.
Jadi kondisi seperti apa yang benar-benar menuntut penggunaan aversive?. Pembenaran seperti apa yang mendorong untuk dilakukannya punishment? Oleh karena itu dalam referensi yang ketiga ini akan dibahas mengenai alasan dilakukannya punishment di tengah masyarakat. Berdasarkan buku Society The Basics (Ninth Edition) karya John J. Macionis, ada 4 justifikasi untuk melakukan punishment. Justifikasi yang pertama adalah retribution. Justifikasi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan moral di masyarakat. Tindakan kriminal dipercaya mengganggu keseimbangan tersebut. Menurut masyarakat di abad pertengahan, tindakan kriminal adalah hal yang bertentangan dengan Tuhan, oleh karena itu pelaku kriminal harus dihukum dengan berat. Walaupun banyak kritik yang menyatakan bahwa hukuman yang disebabkan oleh justifikasi ini tidak berperan besar di dalam membentuk behavior pelaku , sampai sekarang retribution masih menjadi justifikasi yang dianggap tepat untuk melakukan punishment. Justifikasi yang kedua adalah deterrence. Deterrence adalah upaya untuk menghentikan kriminal dengan penggunaan punishment. Manusia tidak akan melanggar peraturan apabila tindakan kriminal yang ia lakukan tidak setara dengan hukuman yang akan dia terima. Konsep deterrence diterima oleh masyarakat, dan hukuman mati diganti dengan hukuman penjara. Justifikasi ini dibagi menjadi dua yaitu significant deterrence yang meyakinkan pelaku bahwa tindakan kriminalnya tidak setara dengan hukuman yang diterima, dan general deterrence yang berarti bahwa hukuman seseorang menjadi contoh untuk yang lain. Justifikasi yang ketiga adalah rehabilitation. Rehabilitation adalah upaya untuk mengubah behavior pelaku kriminal untuk mencegah melakukan tindakan kriminal selanjutnya. Dasar dari konsep rehabilitation adalah ide bahwa perilaku manusia ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Jadi, apabila seseorang dapat belajar melakukan tindakan kriminal, maka secara logis ia juga dapat belajar untuk mematuhi peraturan. Oleh karena itu, tindakan kriminal yang identik ditangani oleh retribution yang sama, tetapi rehabilitation yang berbeda. Justifikasi yang terakhir adalah societal protection. Societal protection adalah upaya untuk membuat pelaku kriminal tidak dapat melakukan aksinya dalam suatu periode waktu atau secara permanen dengan menggunakan hukuman penjara atau hukuman mati. Justifikasi ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerugian akibat tindakan kriminal. Terdapat kekurangan dalam penjelasan mengenai 4 justifikasi ini, karena punishment yang dimaksud hanya untuk membentuk behavior dari pelaku kriminal, bukan secara umum.
Bagaimanapun justifikasinya, penggunaan punishment juga memiliki keterbatasan dalam perannya untuk membentuk behavior. Referensi berikut ini akan menjelaskan mengenai keterbatasan efek punishment menurut B.F Skinner. Pertama, punishment tidak mengajarkan behavior yang sesuai. Kedua, punishment harus dilakukan secara segera dan konsisten. Ketiga, punishment dapat menyebabkan efek samping negatif. Keempat, melalui modeling, punishment dapat menyebabkan pembelajaran behavior yang tidak diinginkan. Kelima, punishment dapat menyebabkan emosi negatif (seperti rasa takut dan cemas). Kelima keterbatasan inilah yang menjelaskan penggambaran Skinner dalam novel utopiannya, Walden Two, bahwa komunitas yang ideal itu mencoba untuk menghindari penggunaan punishment. Menurut Skinner, kunci untuk membentuk behavior yang diinginkan adalah melalui positive reinforcement.
Keterbatasan penggunaan punishment seperti yang dijelaskan di referensi sebelumnya juga merupakan salah satu alasan mengapa punishment kontroversial. Oleh karena itu referensi ini akan menjelaskan secara lebih mendalam kenapa penggunaan punishment dianggap kontroversial. Menurut artikel Tracey Llyod (2009), punishment adalah teknik yang tepat di dalam memodifikasi behavior tetapi juga potensial menimbulkan kerugian di dalam hal yang lain. Punishment bukanlah teknik yang tepat apabila kita bekerja dengan subjek yang menderita keterbelakangan mental. Pada tahun 1980-an, hal ini menyebabkan penggunaan reinforcement menjadi teknik yang lebih dianjurkan di dalam membentuk behavior (Johnston, 1991). Di sisi lain, punishment juga memiliki kelebihan, yaitu mengubah behavior secara permanen dan efektif, untuk waktu jangka panjang (Mazur, 2002, Lerman & Vorndran, 2002). Penggunaan punishment dianjurkan untuk mengubah behavior yang mungkin menyebabkan insiden yang merugikan, dan memerlukan tindakan secara cepat dan tepat untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Punishment juga merupakan hal yang penting apabila tidak ditemukan reinforcer yang akurat untuk mengubah behavior yang secara berkelanjutan bermasalah (Lerman & Vorndran, 2002).
Riset selama ini terus menghasilkan penelitian yang menyarankan untuk menghindari penggunaan punishment dan mendukung penggunaan reinforcement. Khususnya dalam pembentukan behavior bagi mereka yang menderita keterbelakangan mental. Seperti hipotesis di awal, punishment memang secara efektif dapat membentuk behavior yang diinginkan, tetapi juga memiliki keterbatasan yang justru dapat menyebabkan munculnya behavior lain yang tidak diinginkan. Di sisi lain, sama seperti aversive, punishment tidak bisa dihilangkan. Ada beberapa kondisi tertentu yang menyebabkan hal tersebut tidak bisa dihilangkan. Dalam membentuk perilaku krimina, alasan-alasan mengenai hal tersebut dielaborasikan ke dalam 4 justifikasi yang sudah dijelaskan dalam referensi ketiga.
Berdasarkan kelima referensi diatas, secara garis besar menyarankan untuk meminimalisasi penggunaan punishment sebisa mungkin. Konklusinya adalah, untuk mencari cara yang efektif di dalam membentuk behavior bukanlah hal yang mudah. Apabila kita memilih cara yang salah, behavior tersebut malah dapat menjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Hal ini dijelaskan melalui pemikiran Skinner, yaitu “Punishment dapat meningkatkan motivasi dan behavior yang sesuai, tetapi seringkali menghasilkan efek samping yang sangat tidak diinginkan, seperti ketakutan, kebencian, dan keinginan untuk membalas dendam” (Charles, 1999).
Daftar Pustaka :
- Behaviorism: B.F Skinner [PowerPoint slides]. Retrieved from www.webster.edu/~woolflm/personalityskinner.ppt (3 November 2010)
- Controlling Behavior: Reward and Punishment. http://www.strange-loops.com/scicontingencies.html (5 November 2010)
- Holth, P. (2005). Two Definitions of Punishment. The Behavior Analyst Today (6-1), 43-47.
- Llyod, T. (2009). Using Punishment In Behaviour Modification: Treatment Technique Based On Aversive Stimuli Is Controversial. Retrieved from http://www.suite101.com/content/using-punishment-in-behaviour-modification-a166857
- Macionis, J.J. (2007). Society The Basics (Ninth Edition). New Jersey: Pearson.
Holocaust
Peristiwa Holocaust yang terjadi 6 dekade lalu masih menyimpan kedukaan yang mendalam khususnya bagi kaum Yahudi. Kejadian ini mengakibatkan 6 juta warga Yahudi-Eropa (2/3 dari seluruh warga Yahudi-Eropa) menjadi korban jiwa. Selain Yahudi, pihak yang juga menjadi korban antara lain adalah Romani(kaum gipsi), homoseksual, saksi Yehovah, dan orang yang menderita keterbelakangan mental, sehingga total keseluruhan korban dari Holocaust diperkirakan mencapai 11-17 juta jiwa. Sampai sekarang saya masih tidak percaya dengan peristiwa Holocaust ini. Bagaimana bisa kebencian seseorang yang bernama Hitler bisa mempengaruhi begitu banyak orang untuk bergabung dalam NAZI dan SS (Schutzstaffel, didirikannya pada tahun 1925) untuk mendukung Holocaust dan melakukan genosida?
“I remember one set of twins in particular: Guido and Ina, aged about four. One day, Mengele (Dr. Josef Mengele, NAZI physician) took them away. When they returned, they were in a terrible state: they had been sewn together, back to back, like Siamese twins. Their wounds were infected and oozing pus. They screamed day and night. Then their parents – I remember the mother's name was Stella – managed to get some morphine and they killed the Romani children in Auschwitz, victims of medical experiments children in order to end their suffering“
Kutipan di atas merupakan kesaksian Vera Alexander, seorang Yahudi penghuni kamp konsentrasi, mengenai eksperimen medis yang dilakukan oleh NAZI. Oleh karena itu saya terkadang berpikir, apabila saya seorang Yahudi-Eropa pada zaman itu, mana yang lebih baik? Langsung masuk ke ruang gas saat tiba di kamp konsentrasi dan mati, atau menghadapi tindakan yang tidak manusiawi tetapi berhasil selamat dan melanjutkan hidup? Segala jenis hukuman, kerja paksa, dan juga eksperimen medis yang tidak manusiawi dilakukan dibalik kawat berduri kamp konsentrasi. Salah satu kamp konsentrasi yang tidak asing namanya, Auschwitz, menjadi saksi bisu dari semua aksi brutal yang dilakukan oleh para anggota NAZI.
Banyak dari mereka yang kita anggap cukup beruntung untuk dapat selamat dari Holocaust justru menderita trauma jangka panjang yang serius. Sebagian besar penghuni kamp konsentrasi yang selamat menderita PTSD (Post-traumatic Stress Disorder). Tentu saja mereka merasa beruntung dapat selamat dari kejadian tersebut, tetapi ada saat-saat dimana memori pahit dari peristiwa tersebut kembali datang dalam bentuk flashback. Hal ini menghantui mereka setiap harinya, bahkan ada yang menyesal karena tidak ikut mati bersama teman dan keluarganya di kamp konsentrasi. Jangankan untuk melakukan self-actualization seperti teori yang dicetuskan oleh ahli psikologi humanistik Abraham Maslow (yang kebetulan juga seorang Yahudi), untuk mendefinisikan apa yang normal saja sudah menjadi hal yang sulit bagi mereka.
Menurut saya, tidak ada orang yang dapat menjelaskan apa itu ‘rasa sakit’ lebih baik daripada mereka yang sudah mengalami secara langsung penyiksaan Holocaust ini. Segala jenis penyiksaan baik fisik maupun mental, dari yang paling ringan sampai yang paling berat, sudah pernah dialami oleh penghuni kamp konsentrasi. Tetapi sebagian besar mereka yang berhasil lolos dari Holocaust telah berhasil membuktikan bahwa mereka bisa kuat dan tetap menjalani hidup. Bahkan, tidak sedikit dari orang-orang yang berpengaruh di dunia ini merupakan seorang Yahudi. Hitler memang pernah mengatakan bahwa Orang Jerman adalah ras unggul. Tapi menurut saya, ras unggul adalah mereka yang berhasil melewati segala siksaan yang tidak manusiawi, dan terus melanjutkan hidup bahkan berhasil didalamnya.
Sumber :
- Lingering Psychological Effects Of The Holocaust (http://clinicallypsyched.com/-well-being-holocaust-survivors/, diakses 3 November 2010)
- Psychological Effects of the Holocaust (http://www.studyworld.com/newsite/ReportEssay/History/European/Psychological_Effects_of_the_Holocaust-80.htm, diakses 3 November 2010)
Susu Formula
Apabila anda perhatikan akhir-akhir ini banyak iklan di saluran televisi Indonesia yang menawarkan produk susu formula untuk bayi. Segala macam jenis susu ‘ajaib’ yang menjanjikan dapat membuat bayi menjadi superior, bahkan sejak dari masa kandungan. Saat saya melihat iklan-iklan tersebut terkadang saya berpikir, begitu cerah masa depan bangsa nantinya kalau susu formula tersebut memang memberikan pengaruh seperti yang dipromosikan. Kalau begitu, dulu Einstein minum susu formula merk apa?
Ternyata susu formula selama ini tidak se-hebat yang dipromosikan. Bahkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan produsen susu formula banyak melakukan pelanggaran dalam mengiklankan produk susu formula. Hal ini disebabkan apa yang diiklankan tidak memberikan informasi yang jelas mengenai kandungan dari produk susu formula tersebut, bahkan terkesan hiperbola. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pemberian susu formula bagi bayi usia dibawah 1 tahun tidak diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena kandungan yang terdapat dalam susu formula tidak memiliki enzim pencernaan seperti yang terdapat di dalam ASI, sehingga membuat ginjal bayi harus bekerja lebih keras untuk mencernanya.
Pemakaian susu formula juga banyak menimbulkan efek samping yang merugikan. Oleh karena itu seiring dengan meningkatnya jumlah penjualan susu formula, semakin meningkatnya jumlah kunjungan bayi ke rumah sakit. Kebanyakan kasus yang ditangani adalah penyakit diare. Selain itu pemberian susu formula yang berlebihan juga meningkatkan jumlah bayi yang menderita obesitas. Menurut penelitian tim dari MRC Childhood Nutrition Research Centre di University College London, Inggris, bayi yang mengalami kelebihan berat badan dapat lebih mudah terserang penyakit diabetes hingga jantung.
Sebagian besar orang tua memang menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Mereka rela mengorbankan sejumlah uang agar anaknya dapat menjadi sehat dan pintar. Oleh karena itu perusahaan susu formula melihat hal ini sebagai kesempatan emas. Dengan menawarkan segala macam kelebihan dari produk mereka, keuntungan besar pun mengalir. Orang tua yang mengharapkan agar anak-anaknya dapat menjadi pintar, sehat, dan lucu seperti bayi di iklan seringkali menjadi korban. Kalau begitu hal apa yang paling tepat untuk diberikan kepada bayi? Jawabannya adalah ASI (Air Susu Ibu). ASI adalah hal yang paling penting bagi awal kehidupan, susu formula hanyalah penambah asupan gizi dan bukanlah hal yang utama. Janganlah mengharapkan anak bisa menjadi ‘ajaib’ hanya dengan meminum susu formula, produk tersebut bahkan mengakibatkan banyak efek samping yang merugikan bagi konsumen. Jadi, orang tua diharapkan dapat lebih selektif dan kritis di dalam menentukan pilihan bagi anaknya, khususnya di dalam memilih menggunakan susu formula.
Sumber :
- ASI VS Susu Formula
(http://mediasehat.com/konten4no49, diakses 3 November 2010)
- Susu Formula Berlebihan
(http://blog.duniasusu.com/?p=270, diakses 3 November 2010)
- Tekan Kematian Bayi, Pemerintah Diminta Larang Iklan Susu Formula
(http://riaubisnis.com/index.php/life-and-style-mainmenu-31/kesehatan-mainmenu-53/36-kesehatan/1917-tekan-kematian-bayi-pemerintah-diminta-larang-iklan-susu-formula, diakses 3 November 2010)
Tindakan Heroik Pinera dan Kunjungan SBY ke Wasior
Proses penyelamatan 33 penambang di Copiapo, Chile menyedot perhatian seluruh dunia. Penambang-penambang tersebut berhasil diselamatkan setelah terjebak selama 69 hari di dalam perut bumi. Pada awalnya tidak ada tanda-tanda kehidupan dari penambang-penambang tersebut, sampai pada tanggal 22 Agustus pencarian mulai semakin giat dilakukan setelah para penambang mengirimkan pesan yang bertuliskan “Kami semua yang berjumlah 33, baik-baik saja di dalam shelter” dari kedalaman 2.260 kaki. Dalam proses penyelamatan ini pemerintah Chile melibatkan berbagai pihak, dari meminta bantuan NASA, sampai Paus Benediktus XVI. Semua usaha itu tidak sia-sia, seluruh penambang berhasil diselamatkan pada tanggal 13 Oktober. Proses penyelamatan disiarkan secara langsung melalui televisi yang disiarkan di seluruh dunia melalui berbagai stasiun TV. Selama penyelamatan, Presiden Pinera tidak henti-hentinya memberikan dukungan baik secara moral ataupun material.
Sementara Presiden Pinera dipandang seluruh dunia sebagai pahlawan karena telah berkontribusi sangat besar bagi penyelamatan penambang dari perut bumi, bagaimana dengan Presiden SBY dan penanganan musibah di Wasior? Menurut Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Andi Arief, Presiden telah menginstruksikan langkah-langkah difokuskan pada pencarian korban. Pada praktiknya langkah-langkah ini belum terlihat efektif dalam menangani korban di Wasior, Papua Barat. Bahkan Presiden SBY baru sempat mengunjungi lokasi bencana 10 hari setelah bencana terjadi. Selama 10 hari tersebut Presiden SBY sempat menghadiri pertandingan sepak bola persahabatan antara Indonesia melawan Uruguay. Tentu saja tindakan SBY terlihat sangat kontras dengan tindakan Presiden Sebastian Pinera. Pujian terus diberikan kepada Presiden Pinera, sedangkan kritik terus dilontarkan kepada Presiden SBY. Banyak pihak yang mengkomparasikan tindakan kedua Presiden ini. Di satu pihak Presiden Pinera yang rela menghabiskan $ 20 juta untuk menyelamatkan 33 penambang, dan di sisi lain Presiden SBY dengan masalah kunjungannya ke Wasior.
Menurut saya, tindakan kedua pihak ini tidak bisa disamakan. Berbeda bangsa maka berbeda pula sistemnya. Di Chile, Presiden Pinera tanpa ragu merangkul semua penambang ketika mereka berhasil diselamatkan. Negara tersebut memiliki system yang lebih fleksibel yang memungkinkan pihak eksekutif (Presiden/kepala pemerintahan) untuk dapat terjun ke lapangan dan ikut secara langsung dalam menangani masalah. Sedangkan di Indonesia, kunjungan Presiden SBY di Wasior sempat di tolak pihak daerah karena dianggap hanya merepotkan. Oleh karena itu penanganan memang terkesan lamban, tapi itulah akibat dari sistem di Indonesia. Presiden SBY diharapkan dapat lebih tegas, spontan, dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Presiden adalah lokomotif dalam bagi negara, karena itulah tindakannya sekecil apapun bernilai besar bagi rakyat. Kemajuan bangsa ditentukan oleh pengarahan dari kepala negara, rakyat yang terlibat langsung, dan perbaikan sistem. Tidak ada salahnya bagi Presiden SBY untuk dapat mencontoh tindakan heroik Presiden Pinera.
Sumber :
- “Chile Miners Rescued : Timeline.”
(http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/southamerica/chile/8057126/Chile-miners-rescued-timeline.html, diakses 17 Oktober 2010)
Sunday, 17 October 2010
Pygmalion Effect
Dalam mitologi Yunani, ada seorang raja yang juga seorang pemahat. Ia membuat patung wanita yang sangat cantik, bahkan lebih cantik daripada semua wanita yang hidup pada zamannya. Raja tersebut jatuh cinta terhadap patung wanita itu, bahkan memperlakukannya seperti manusia. Sampai suatu hari ia putus asa karena patung tersebut tidak merespon semua perlakuannya. Ia pun berdoa kepada Aphrodite untuk memberikan wanita yang persis seperti patungnya. Aphrodite mengabulkan doanya dengan cara memberi kehidupan kepada patung tersebut. Raja tersebut bernama Pygmalion.
Oleh karena itu Pygmalion Effect adalah sebuah fenomena di mana seseorang yang diberi harapan yang tinggi, biasanya anak – anak, murid atau karyawan, maka semakin baik performa mereka. Menurut Rosenthal, apabila guru memberikan harapan yang tinggi kepada beberapa murid, murid – murid tersebut akan menunjukan performa yang sesuai dengan harapan atau ekspetasi mereka.
Rosenthal mengadakan eksperimen di suatu sekolah dasar. Guru diberitahukan siapa saja anak - anak istimewa yang oleh karena itu membutuhkan dorongan lebih. Mereka pun dibimbing secara khusus, dan diberi perhatian yang lebih daripada murid lain. Pada akhirnya, anak – anak istimewa tersebut diberikan tes, hasilnya jauh lebih baik. Bahkan IQ mereka pun naik secara signifikan. Ternyata anak – anak istimewa tersebut hanyalah anak – anak yang secara acak dipilih oleh Rosenthal. Kemampuan mereka sebenarnya sama saja dengan anak – anak yang lain.
Saya sendiri pernah mengalami Pygmalion Effect. Saat saya bersekolah di SD Hang Tuah, guru – guru menganggap saya anak yang pintar dan berkemampuan lebih. Hampir selalu saya mendapat peringkat satu. Karena ingin mempersiapkan diri untuk SMP katolik, saya pindah ke SD katolik. Guru – guru di sana menganggap kemampuan saya sama saja dengan anak yang lain. Pada awalnya saya tidak masuk dalam kategori anak pintar. Prestasi saya pun menurun, dari peringkat satu menjadi peringkat 4. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi mendapat peringkat 1 sampai dengan SMP.
Begitu banyak lagi contoh – contoh mengenai Pygmalion Effect. Setiap manusia pasti pernah mengalaminya. Pygmalion Effect tidak selalu berhubungan dengan masalah prestasi. Dalam hal yang sederhana saja, misalnya orang – orang yang kita anggap buruk seringkali juga menganggap bahkan memperlakukan kita buruk. Tanpa sadar, kita sering menilai orang secara prematur. Memang semua orang mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing – masing. Tapi kenapa kita tidak mencoba mengoptimalkan yang baik dan mengurangi yang buruk? Intinya adalah berpikir positif dan mau berusaha optimal.
Sumber :
- Pygmalion (http://www.mythencyclopedia.com/Pr-Sa/Pygmalion.html, diakses 28 September 2010)
- Pygmalion Effect (http://en.wikipedia.org/wiki/Pygmalion_effect, diakses 28 September 2010)
- Bellah, Mike. The Expectation Effect (http://www.bestyears.com/expectations.html, diakses 28 September 2010)
Blackberry
“Eh, minta pin BBM lu donk”
“Gua ga punya BB”
“Udah beli aja, biar lebih gampang chatting”
“Gua ga tertarik untuk punya BB”
“Yaelah, gw dulu juga gitu, liat aja bentar lagi lu pasti beli BB”
Percakapan di atas sudah saya alami berulang kali. Tepatnya dimulai sejak pertengahan tahun 2009. Sejak saat itu pemakaian Blackberry (BB) menjamur. Apabila di tanya alasan untuk memiliki BB, sebagian besar menjawab agar komunikasi menjadi lebih lancar melalui Blackberry Messenger (BBM). Oleh karena itu, banyak masyarakat Indonesia menjadi pengguna BB. Saya sendiri termasuk dari segelintir orang yang belum ingin mempunyai BB.
Selain pengertian yang telah saya dapat sehari – hari mengenai BB, saya mencari tahu apa itu BB di internet. Saya mengetik kata Blackberry di situs pencarian Google, terdapat 181.000.000 hasil, saya membuka salah satu link hasil pencarian teratas. Ternyata BB sudah ditemukan oleh perusahaan Kanada sejak tahun 1996. Tapi mengapa di Indonesia penggunaan BB baru booming sekitar 13 tahun kemudian? Menurut saya, BB menjadi trend di Indonesia setelah ramainya penggunaan Facebook setahun sebelumnya. Dengan menggunakan BB kita menjadi lebih mudah dalam mengakses situs Facebook, karena sudah ada aplikasinya. Kita juga lebih mudah di dalam mengirimkan foto melalui layanan mobile uploads. Ditambah lagi ada layanan BBM, lengkaplah sudah.
Namun selain keuntungan di atas, menurut saya BB juga membawa pengaruh yang kurang baik. Pertama, kebanyakan orang yang menggunakan BB menjadi sulit dihubungi oleh yang tidak menggunakan BB (seperti saya). Kedua, apabila orang sudah menjadi autis BB, konsentrasinya terhadap kejadian di sekitarnya(secara harafiah) menjadi berkurang, saya pernah mendengar pernyataan “Blackberry membuat yang dekat menjadi jauh, yang jauh menjadi dekat”. Ketiga, untuk membeli BB bukanlah hal yang murah, belum lagi harus membayar biaya berlangganan setiap bulan/hari, hal ini menyebabkan bertambahnya beban pengeluaran. Keempat, apabila digunakan secara berlebihan, tidak baik bagi kesehatan pengguna BB.
Selain pengaruh buruk, segala kemudahan yang ditawarkan itulah yang menyebabkan pengguna BB meningkat drastis di Indonesia. Apalagi di Indonesia trend sangat cepat menjalar. Saat saya berkunjung ke beberapa negara lain, tidak ada negara yang terlihat betul – betul keranjingan dengan BB, kebanyakan dari mereka yang menggunakan BB adalah kaum eksekutif yang harus selalu update demi kelancaran bisnisnya. Jadi, Apakah kita sebagai mahasiswa benar – benar memerlukan BB? Apabila BB memang penting, mungkin saya akan mulai menyisihkan uang untuk membelinya.
Sumber :
- Blackberry (http://en.wikipedia.org/wiki/BlackBerry, diakses 29 September 2010)
- Fenomena Blackberry (http://www.mediaindonesia.com/data/pdf/pagi/2008-12/2008-12-13_14.pdf, diakses 29 September 2010)
Pertanyaan Untuk Paman Sam
Pada liburan kemarin, saya pergi mengunjungi kakak saya di Omaha, Amerika Serikat. Omaha terletak di negara bagian Nebraska, dimana mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani jagung. Perlu diketahui saat itu Omaha sedang berduka karena ada warga corn huskers gugur dalam tugasnya di Irak. Bendera setengah tiang dikibarkan, bahkan ada aksi membunyikan klakson apabila kita cinta damai dan menolak perang.
Suatu hari saya pergi berbelanja bersama ayah saya di Walmart. Walmart adalah tempat berbelanja ‘rakyat kebanyakan’ di Amerika Serikat. Setelah selesai berbelanja kami melihat foto – foto warga Omaha yang gugur saat perang. Wall of Heroes tersebut berisi orang – orang yang sgugur saat bertugas, dari perang di Korea sampai perang di Irak. Saat kami sedang mengamati secara seksama, dan merasa tersentuh atas penghargaan masyarakat corn huskers terhadap pahlawannya, tiba – tiba datang seorang laki – laki paruh baya. Ia merupakan seorang warga berkulit hitam. Kami hanya tersenyum saat ia datang menghampiri kami dan bersama – sama melihat Wall of Heroes tersebut. Ia juga ikut tersenyum, tetapi kemudian ekspresi wajahnya menjadi sedih. Kami menganggap mungkin ia adalah bagian dari warga Omaha yang ikut bersimpati terhadap para pahlawannya tersebut.
Tiba – tiba ia memulai percakapan, “Are these guys died during their military service?” kami menjawab “Yes they did”. Pembicaraan terhenti sejenak lalu ia membalas “You know, my nephew died last year during his service in Iraq, but they didn’t put his picture right here”. Kami menjawab “We’re sorry to hear that”, namun pria tersebut hanya berkata “Interesting” dengan nada yang sinis lalu pergi meninggalkan kami. Hanya dengan sepotong dialog tersebut, langsung menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak saya saat itu. Saya tidak menyangka di Amerika Serikat hal seperti ini masih terjadi.
Sumber :
- Omaha Soldier Killed in Afghanistan (http://www.kptm.com/Global/story.asp?S=12771152, diakses 26 September 2010)