Saturday, 6 November 2010

Holocaust

Peristiwa Holocaust yang terjadi 6 dekade lalu masih menyimpan kedukaan yang mendalam khususnya bagi kaum Yahudi. Kejadian ini mengakibatkan 6 juta warga Yahudi-Eropa (2/3 dari seluruh warga Yahudi-Eropa) menjadi korban jiwa. Selain Yahudi, pihak yang juga menjadi korban antara lain adalah Romani(kaum gipsi), homoseksual, saksi Yehovah, dan orang yang menderita keterbelakangan mental, sehingga total keseluruhan korban dari Holocaust diperkirakan mencapai 11-17 juta jiwa. Sampai sekarang saya masih tidak percaya dengan peristiwa Holocaust ini. Bagaimana bisa kebencian seseorang yang bernama Hitler bisa mempengaruhi begitu banyak orang untuk bergabung dalam NAZI dan SS (Schutzstaffel, didirikannya pada tahun 1925) untuk mendukung Holocaust dan melakukan genosida?

“I remember one set of twins in particular: Guido and Ina, aged about four. One day, Mengele (Dr. Josef Mengele, NAZI physician) took them away. When they returned, they were in a terrible state: they had been sewn together, back to back, like Siamese twins. Their wounds were infected and oozing pus. They screamed day and night. Then their parents – I remember the mother's name was Stella – managed to get some morphine and they killed the Romani children in Auschwitz, victims of medical experiments children in order to end their suffering


Kutipan di atas merupakan kesaksian Vera Alexander, seorang Yahudi penghuni kamp konsentrasi, mengenai eksperimen medis yang dilakukan oleh NAZI. Oleh karena itu saya terkadang berpikir, apabila saya seorang Yahudi-Eropa pada zaman itu, mana yang lebih baik? Langsung masuk ke ruang gas saat tiba di kamp konsentrasi dan mati, atau menghadapi tindakan yang tidak manusiawi tetapi berhasil selamat dan melanjutkan hidup? Segala jenis hukuman, kerja paksa, dan juga eksperimen medis yang tidak manusiawi dilakukan dibalik kawat berduri kamp konsentrasi. Salah satu kamp konsentrasi yang tidak asing namanya, Auschwitz, menjadi saksi bisu dari semua aksi brutal yang dilakukan oleh para anggota NAZI.

Banyak dari mereka yang kita anggap cukup beruntung untuk dapat selamat dari Holocaust justru menderita trauma jangka panjang yang serius. Sebagian besar penghuni kamp konsentrasi yang selamat menderita PTSD (Post-traumatic Stress Disorder). Tentu saja mereka merasa beruntung dapat selamat dari kejadian tersebut, tetapi ada saat-saat dimana memori pahit dari peristiwa tersebut kembali datang dalam bentuk flashback. Hal ini menghantui mereka setiap harinya, bahkan ada yang menyesal karena tidak ikut mati bersama teman dan keluarganya di kamp konsentrasi. Jangankan untuk melakukan self-actualization seperti teori yang dicetuskan oleh ahli psikologi humanistik Abraham Maslow (yang kebetulan juga seorang Yahudi), untuk mendefinisikan apa yang normal saja sudah menjadi hal yang sulit bagi mereka.

Menurut saya, tidak ada orang yang dapat menjelaskan apa itu ‘rasa sakit’ lebih baik daripada mereka yang sudah mengalami secara langsung penyiksaan Holocaust ini. Segala jenis penyiksaan baik fisik maupun mental, dari yang paling ringan sampai yang paling berat, sudah pernah dialami oleh penghuni kamp konsentrasi. Tetapi sebagian besar mereka yang berhasil lolos dari Holocaust telah berhasil membuktikan bahwa mereka bisa kuat dan tetap menjalani hidup. Bahkan, tidak sedikit dari orang-orang yang berpengaruh di dunia ini merupakan seorang Yahudi. Hitler memang pernah mengatakan bahwa Orang Jerman adalah ras unggul. Tapi menurut saya, ras unggul adalah mereka yang berhasil melewati segala siksaan yang tidak manusiawi, dan terus melanjutkan hidup bahkan berhasil didalamnya.

Sumber :

- Lingering Psychological Effects Of The Holocaust (http://clinicallypsyched.com/-well-being-holocaust-survivors/, diakses 3 November 2010)

- Psychological Effects of the Holocaust (http://www.studyworld.com/newsite/ReportEssay/History/European/Psychological_Effects_of_the_Holocaust-80.htm, diakses 3 November 2010)

No comments:

Post a Comment