Punishment atau hukuman adalah teknik aversive yang sudah digunakan oleh manusia sejak dahulu. Hukuman digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku dan tindakan yang tidak sesuai (unwanted behavior). Sampai sekarang banyak kontroversi tentang penggunaan hukuman yang tepat. Tidak jarang hukuman sangat berat digunakan untuk masalah pelanggaran yang sepele, vice versa . Tapi yang menjadi pokok utama disini adalah apakah punishment adalah teknik yang tepat? seperti apa peran punishment di dalam membentuk kepribadian manusia?
Bentuk punishment yang tepat tidak bisa disamaratakan kepada semua pelaku. Kita harus dapat mendalami secara betul apa kesalahannya, alasan ia melakukan tindakan tersebut, dan bagaimana latar belakang mentalnya. Tetapi, masih banyak sekali punishment yang tidak didasarkan oleh ketiga hal tersebut. Menurut saya punishment memang sarana yang efektif untuk mengurangi atau meneleminasi perilaku dan tindakan yang tidak sesuai, tetapi apakah punishment adalah sarana yang tepat dalam membentuk kepribadian yang diinginkan? 5 referensi dibawah ini mencoba untuk menjelaskan hipotesis mengenai penggunaan punishment tersebut.
Dalam referensi yang pertama dijelaskan mengenai definisi dari punishment. Menurut Holth (2005), terdapat dua definisi dari punishment dalam literatur behavior-analytic. Definisi yang pertama adalah menurut Skinner (1953) dalam Science and Human Behavior. Menurutnya, punishment adalah prosedur dimana respon diikuti oleh penghapusan reinforcer positif atau pemberian reinforcer negatif (stimulus aversive). Definisi yang kedua adalah menurut Azrin dan Holz (1966). Mereka mendefinisikan punishment sebagai prosedur dimana respon tertentu memiliki konsekuensi, lalu frekuensi respon tersebut semakin berkurang, karena disebabkan oleh hubungan antara respon dan konsekuensi, dan bukan disebabkan hal lain.
Selanjutnya, referensi kedua ini lebih mengelaborasi bagaimana posisi B.F Skinner dalam penggunaan punishment untuk membentuk behavior. Menurut Paul Kix (2008) Skinner tidak menyetujui penggunaan punishment dalam kasus dimana reward dan pendekatan edukasi masih bisa diterapkan. Pada buku Science and Human Behavior, ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat zaman sekarang, penggunaan punishment hanya sebatas untuk mengontrol behavior dan tidak lebih. Selanjutnya dalam Walden Two, Skinner juga menggambarkan bahwa komunitas yang ideal itu mencoba untuk menghindari penggunaan punishment. Menurut studi riset yang dilakukannya, ia menunjukan bahwa dalam kondisi tertentu punishment hanya memberi efek yang sementara. Sebaliknya, riset terbaru yang dilakukan oleh para ahli psikologi behavior menunjukan bahwa reward, sama seperti punishment, juga menghasilkan efek yang sementara. Punishment yang kuat secara relatif memiliki efek permanen. Tetapi riset tersebut tidak menunjukan bahwa reward yang kuat secara relatif juga memiliki efek yang permanen. Pada suatu kesempatan, Skinner menyatakan bahwa penghapusan aversive boleh dilakukan apabila sudah ada yang dapat menggantikan perannya. Sebagai contohnya, ia menjelaskan bagaimana kita tidak dapat secara mudah meneliminasi keberadaan polisi dan tentara, kecuali kita sudah memiliki sesuatu untuk menggantikan tugas mereka.
Jadi kondisi seperti apa yang benar-benar menuntut penggunaan aversive?. Pembenaran seperti apa yang mendorong untuk dilakukannya punishment? Oleh karena itu dalam referensi yang ketiga ini akan dibahas mengenai alasan dilakukannya punishment di tengah masyarakat. Berdasarkan buku Society The Basics (Ninth Edition) karya John J. Macionis, ada 4 justifikasi untuk melakukan punishment. Justifikasi yang pertama adalah retribution. Justifikasi ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan moral di masyarakat. Tindakan kriminal dipercaya mengganggu keseimbangan tersebut. Menurut masyarakat di abad pertengahan, tindakan kriminal adalah hal yang bertentangan dengan Tuhan, oleh karena itu pelaku kriminal harus dihukum dengan berat. Walaupun banyak kritik yang menyatakan bahwa hukuman yang disebabkan oleh justifikasi ini tidak berperan besar di dalam membentuk behavior pelaku , sampai sekarang retribution masih menjadi justifikasi yang dianggap tepat untuk melakukan punishment. Justifikasi yang kedua adalah deterrence. Deterrence adalah upaya untuk menghentikan kriminal dengan penggunaan punishment. Manusia tidak akan melanggar peraturan apabila tindakan kriminal yang ia lakukan tidak setara dengan hukuman yang akan dia terima. Konsep deterrence diterima oleh masyarakat, dan hukuman mati diganti dengan hukuman penjara. Justifikasi ini dibagi menjadi dua yaitu significant deterrence yang meyakinkan pelaku bahwa tindakan kriminalnya tidak setara dengan hukuman yang diterima, dan general deterrence yang berarti bahwa hukuman seseorang menjadi contoh untuk yang lain. Justifikasi yang ketiga adalah rehabilitation. Rehabilitation adalah upaya untuk mengubah behavior pelaku kriminal untuk mencegah melakukan tindakan kriminal selanjutnya. Dasar dari konsep rehabilitation adalah ide bahwa perilaku manusia ditentukan oleh lingkungan sosialnya. Jadi, apabila seseorang dapat belajar melakukan tindakan kriminal, maka secara logis ia juga dapat belajar untuk mematuhi peraturan. Oleh karena itu, tindakan kriminal yang identik ditangani oleh retribution yang sama, tetapi rehabilitation yang berbeda. Justifikasi yang terakhir adalah societal protection. Societal protection adalah upaya untuk membuat pelaku kriminal tidak dapat melakukan aksinya dalam suatu periode waktu atau secara permanen dengan menggunakan hukuman penjara atau hukuman mati. Justifikasi ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kerugian akibat tindakan kriminal. Terdapat kekurangan dalam penjelasan mengenai 4 justifikasi ini, karena punishment yang dimaksud hanya untuk membentuk behavior dari pelaku kriminal, bukan secara umum.
Bagaimanapun justifikasinya, penggunaan punishment juga memiliki keterbatasan dalam perannya untuk membentuk behavior. Referensi berikut ini akan menjelaskan mengenai keterbatasan efek punishment menurut B.F Skinner. Pertama, punishment tidak mengajarkan behavior yang sesuai. Kedua, punishment harus dilakukan secara segera dan konsisten. Ketiga, punishment dapat menyebabkan efek samping negatif. Keempat, melalui modeling, punishment dapat menyebabkan pembelajaran behavior yang tidak diinginkan. Kelima, punishment dapat menyebabkan emosi negatif (seperti rasa takut dan cemas). Kelima keterbatasan inilah yang menjelaskan penggambaran Skinner dalam novel utopiannya, Walden Two, bahwa komunitas yang ideal itu mencoba untuk menghindari penggunaan punishment. Menurut Skinner, kunci untuk membentuk behavior yang diinginkan adalah melalui positive reinforcement.
Keterbatasan penggunaan punishment seperti yang dijelaskan di referensi sebelumnya juga merupakan salah satu alasan mengapa punishment kontroversial. Oleh karena itu referensi ini akan menjelaskan secara lebih mendalam kenapa penggunaan punishment dianggap kontroversial. Menurut artikel Tracey Llyod (2009), punishment adalah teknik yang tepat di dalam memodifikasi behavior tetapi juga potensial menimbulkan kerugian di dalam hal yang lain. Punishment bukanlah teknik yang tepat apabila kita bekerja dengan subjek yang menderita keterbelakangan mental. Pada tahun 1980-an, hal ini menyebabkan penggunaan reinforcement menjadi teknik yang lebih dianjurkan di dalam membentuk behavior (Johnston, 1991). Di sisi lain, punishment juga memiliki kelebihan, yaitu mengubah behavior secara permanen dan efektif, untuk waktu jangka panjang (Mazur, 2002, Lerman & Vorndran, 2002). Penggunaan punishment dianjurkan untuk mengubah behavior yang mungkin menyebabkan insiden yang merugikan, dan memerlukan tindakan secara cepat dan tepat untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan. Punishment juga merupakan hal yang penting apabila tidak ditemukan reinforcer yang akurat untuk mengubah behavior yang secara berkelanjutan bermasalah (Lerman & Vorndran, 2002).
Riset selama ini terus menghasilkan penelitian yang menyarankan untuk menghindari penggunaan punishment dan mendukung penggunaan reinforcement. Khususnya dalam pembentukan behavior bagi mereka yang menderita keterbelakangan mental. Seperti hipotesis di awal, punishment memang secara efektif dapat membentuk behavior yang diinginkan, tetapi juga memiliki keterbatasan yang justru dapat menyebabkan munculnya behavior lain yang tidak diinginkan. Di sisi lain, sama seperti aversive, punishment tidak bisa dihilangkan. Ada beberapa kondisi tertentu yang menyebabkan hal tersebut tidak bisa dihilangkan. Dalam membentuk perilaku krimina, alasan-alasan mengenai hal tersebut dielaborasikan ke dalam 4 justifikasi yang sudah dijelaskan dalam referensi ketiga.
Berdasarkan kelima referensi diatas, secara garis besar menyarankan untuk meminimalisasi penggunaan punishment sebisa mungkin. Konklusinya adalah, untuk mencari cara yang efektif di dalam membentuk behavior bukanlah hal yang mudah. Apabila kita memilih cara yang salah, behavior tersebut malah dapat menjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Hal ini dijelaskan melalui pemikiran Skinner, yaitu “Punishment dapat meningkatkan motivasi dan behavior yang sesuai, tetapi seringkali menghasilkan efek samping yang sangat tidak diinginkan, seperti ketakutan, kebencian, dan keinginan untuk membalas dendam” (Charles, 1999).
Daftar Pustaka :
- Behaviorism: B.F Skinner [PowerPoint slides]. Retrieved from www.webster.edu/~woolflm/personalityskinner.ppt (3 November 2010)
- Controlling Behavior: Reward and Punishment. http://www.strange-loops.com/scicontingencies.html (5 November 2010)
- Holth, P. (2005). Two Definitions of Punishment. The Behavior Analyst Today (6-1), 43-47.
- Llyod, T. (2009). Using Punishment In Behaviour Modification: Treatment Technique Based On Aversive Stimuli Is Controversial. Retrieved from http://www.suite101.com/content/using-punishment-in-behaviour-modification-a166857
- Macionis, J.J. (2007). Society The Basics (Ninth Edition). New Jersey: Pearson.
No comments:
Post a Comment