Thursday, 16 December 2010

Narsisme

Saya mengetahui kata narsis pertama kali dari sebuah artikel di koran, saat itu orang kebanyakan bahkan belum familiar dengan term tersebut. Pernah suatu kali di sekitar tahun 2004, tidak lama setelah saya membaca artikel tersebut, saya memanggil teman kelas (yang suka memuji dirinya sendiri sehingga tidak begitu disukai) dengan sebutan narsisis. Saat itu orang malah menganggap saya aneh, saya mencoba menjelaskan apa arti kata narsisis, tapi mereka tidak begitu mempedulikannya. Oleh karena itu saya berhenti memanggil orang dengan sebutan narsisis. Tidak disangka tahun depannya, term narsis tiba-tiba menjadi tren di Indonesia khususnya di kalangan remaja. Rupanya kata narsis mulai mewabah sejak terpampang di salah satu majalah remaja. Padahal term yang digunakan saja tidak tepat.

Sebenarnya apa itu narsis? Menurut artikel yang saya baca dulu, istilah narsis pertama kali dikenalkan oleh Sigmund Freud. Kata narsis berasal dari nama seorang pemuda Yunani bernama Narcissus yang jatuh cinta kepada bayangan dirinya sendiri di sebuah kolam. Saat ia mencoba untuk menjulurkan tangan kepada bayangannya, ia jatuh ke dalam kolam dan tenggelam, setelah itu tumbuhlah bunga yang dinamakan narsis. Oleh karena itu, selama ini kebanyakan masyarakat Indonesia telah melakukan fallacy. Term yang dimaksudkan adalah narsisis, bukan narsis yang merupakan nama sebuah bunga.

Narsisme sendiri bukanlah sekedar rasa cinta berlebihan kepada diri sendiri. Narsisme adalah sifat egois, atau self-pride yang berlebihan pada suatu individu. Sedangkan narsisme pada kelompok sosial diartikan sebagai elitism, atau kurangnya simpati dan perhatian yang dapat merugikan orang lain. Individu atau kelompok yang mengalami gejala tersebut disebut dengan narsisis. Menurut Freud, narsisme sudah merupakan bawaan setiap manusia sejak lahir.

Andrew P. Morrison mengatakan bahwa jumlah narsisme yang cukup dapat menyeimbangkan persepsi individual tentang kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain. Narsisme seperti ini disebut juga dengan healthy-narcissism. Sebaliknya, unhealthy-narcissism adalah jumlah narsisme yang berlebihan pada diri seseorang yang menyebabkan kurangnya perhatian pada hubungan interpersonal. Orang yang menderita unhealthy-narcissism sulit membangun hubungan interpersonal karena ia merasa dirinya yang paling benar sehingga sulit untuk menghargai orang lain. Orang seperti ini biasanya tidak memiliki teman yang tetap, atau bahkan tidak mempunyai teman sama sekali.

Jadi, ada dua hal yang perlu diluruskan. Pertama, orang yang memiliki jumlah narsisme berlebihan disebut dengan narsisis, bukan narsis yang merupakan nama bunga. Kedua, apabila ada teman kita yang suka memajang fotonya sendiri tetapi mempunyai hubungan interpersonal yang baik, maka ia bukanlah seorang narsisis, melainkan seseorang yang memiliki healthy-narcissism. Ingat kata Freud bahwa narsisme sudah merupakan bawaan manusia sejak lahir. Seseorang baru dapat digolongkan sebagai narsisis apabila tindakannya mengarah pada egoisme yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, berpikirlah sebelum menggunakan term narsisme, jangan sekedar percaya pihak otoritas.

Sumber:
- “Narcissism”
(http://en.wikipedia.org/wiki/Narcissism, diakses 30 November 2010)

Penyewaan Rahim

Surrogate mother atau ibu pengganti memang masih asing di Indonesia. Tetapi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, jasa “penyewaan” rahim ini sudah sangat berkembang. Hal ini disebabkan karena meningkatnya jumlah wanita (baik yang menikah ataupun single) yang ingin mempunyai anak tetapi tidak ingin merasakan susahnya masa-masa kehamilan dan rasa sakit melahirkan. Terkadang saya berpikir, apakah surrogate mother merupakan pilihan bagi saya dalam memperoleh anak suatu hari nanti?

Ibu pengganti adalah wanita yang “menyewakan” rahimnya untuk mengandung anak biologis pasangan lain. Ibu pengganti dibagi menjadi 2 jenis, ibu pengganti penuh dan ibu pengganti parsial. Ibu pengganti penuh mengandung anak dari pihak wanita yang infertile (mandul), inseminasi bisa dilakukan secara tidak langsung atau langsung (hubungan seksual), sperma didapat dari pasangannya atau donor. Sementara ibu pengganti parsial mengandung anak hasil sel telur wanita lain yang sudah dibuahi oleh pasanganya atau sperma donor dan ditanam ke rahim ibu pengganti. Saya pribadi lebih memilih menggunakan jasa ibu pengganti parsial.

Menggunakan ibu pengganti (parsial) memang terlihat menyenangkan bagi saya. Karena saya dan pasangan nantinya bisa mempunyai anak tanpa harus susah-susah menghadapi gejala kehamilan seperti mual-mual, bertambahnya berat badan, dan membengkaknya bagian-bagian tubuh tertentu ditambah lagi rasa sakit saat melahirkan. Tetapi setelah melihat ongkos “penyewaaanya” saya mulai ragu untuk menjadikannya sebagai suatu pilihan. Untuk melakukan IVF/ET (in vitro fertilization/embryo transfer) atau ibu pengganti parsial, minimal saya harus mempunyai uang sebanyak $60,000 (sekitar 540 juta rupiah). Jauh lebih mahal daripada ongkos bersalin secara normal di rumah sakit yang paling mewah sekalipun di Jakarta (sekitar 25 juta rupiah). Belum lagi untuk membangun koneksi antara calon orang tua dan bakal anak, kita harus menjaga relasi yang baik dengan ibu pengganti tersebut. Yang lebih anehnya lagi, setelah anak tersebut lahir, ibu pengganti bisa bertemu dengan anak yang dilahirkannya sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan. Selain kedua alasan diatas, menurut saya, penggunaan term inseminasi terkesan menyamakan manusia dengan hewan ternak. Sebagai orang timur, saya menganggap hal-hal tersebut masih sulit untuk diterima.

Ternyata menggunakan jasa ibu pengganti tidak seindah yang saya bayangkan. Mengandung 9 bulan dan melahirkan dengan rasa sakit memang masih terasa menyeramkan bagi saya, tetapi menggunakan surrogate mother sudah berada di urutan terakhir di daftar pilihan saya dalam memperoleh keturunan. Ternyata masih ada alternatif lain dalam melahirkan tanpa rasa sakit seperti water birth. Saya tidak tahu apakah surrogacy sudah legal di Indonesia apa belum. Tetapi, entah itu legal atau illegal, menggunakan jasa ibu pengganti baru menjadi pilihan saya apabila cara yang lain sudah benar-benar tidak dapat berhasil.

Sumber :
- “Compare Options”
(http://www.duniawedding.com/menu-utama/love-nest/1372-ibu-pengganti,
diakses 28 November 2010)
- “Ibu Pengganti”
(http://www.duniawedding.com/menu-utama/love-nest/1372-ibu-pengganti,
diakses 28 November 2010)

Kreativitas Pengemis

Saat saya sedang melintas (menggunakan mobil) di depan Universitas Tama Jagakarsa, ada seorang ibu duduk di dekat lintasan kereta api. Kakak saya yang memiliki compassion yang tinggi, merasa iba melihat ibu tersebut yang terlihat merintih kesakitan dan tidak mampu berjalan. Karena itulah kakak saya memberikan Ibu tersebut sepuluh ribu rupiah. Setelah itu ibu tersebut langsung terlihat segar dan dapat berjalan dengan normal. Kami tidak tahu harus berkata apa-apa melainkan berusaha ikhlas, dan merasa terhibur dengan akting ibu tersebut yang tidak kalah dengan artis Hollywood.

Kejadian seperti itu tidak hanya sekali saya alami. Suatu hari saya dan ayah saya sedang makan siang di stasiun gambir. Saat itu ada seorang anak kecil duduk tak berdaya di depan restaurant. Satu kakinya hilang, ia terus menerus memohon belas kasih dari kami. Karena merasa kasihan, saya meminta uang lima ribu pada ayah saya dan memberikannnya kepada anak tersebut. Kejadian yang satu ini berakhir dengan cara yang lebih konyol. Setelah diberi uang, tiba-tiba anak tersebut berdiri dengan satu kaki sambil cekikikan, melepas celananya, dan meluruskan kaki satunya yang ternyata tidak hilang (melainkan dilipat di dalam celana) dan berlari ke arah teman-temannya. Ayah saya berkata (dalam bahasa manado), “Tadi kita so tau kalo broer kacili itu nyanda batul, makanya nyanda kita kaseh doi” Benar juga kata ayah saya. Saya merasa malu bisa tertipu oleh anak kecil (yang kemungkinan besar tidak bersekolah) itu.

Masih ada pengalaman-pengalaman “akting” lainnya yang membuat saya kagum dan tidak dapat diceritakan semuanya disini. Setelah saya amati, menjadi pengemis sudah merupakan pilihan profesi bagi kaum proletar. Memang menjadi pengemis terlihat sebagai pekerjaan yang mudah. Tetapi menurut saya, menjadi pengemis juga membutuhkan skill. Contoh kasus di atas merupakan bukti “kreativitas” pengemis. Mereka berusaha agar terlihat lebih memprihatinkan atau melas sehingga memperoleh keuntungan yang lebih banyak dari belas kasihan orang-orang seperti saya dan kakak saya.

Sebenarnya memberikan sedekah itu benar atau salah? Menurut saya jawaban dari pertanyaan itu (seperti kata Mas Dewa) terletak di wilayah abu-abu. Kalau kita memberi, kesannya kita membuat pengemis tersebut menjadi pemalas dan tidak berkembang menjadi seseorang yang lebih berguna. Kalau kita tidak memberi kemungkinan akan memicu berkembangnya skill mengemis sehingga mereka berusaha mencari cara agar terlihat lebih melas, atau bahkan menyebabkan mereka beralih profesi menjadi seorang kriminal. Oleh karena itu, memberi atau tidak memberi kembali kepada kita masing-masing. Toh tidak ada ruginya memberikan sepersekian dari apa yang kita miliki. Sebagai orang-orang yang terdidik, kita semestinya dapat lebih cermat membedakan mana yang benar-benar membutuhkan dan yang hanya berpura-pura membutuhkan.