Tuesday, 14 September 2010

Observasi Lebaran 2010

Suasana Lebaran di Ibu Kota


Asap kendaraan, hiruk pikuk kemacetan ibu kota, dan keramaian pedagang dalam menjajakan dagangannya menjadi pemandangan yang langka di Jakarta pada saat – saat Lebaran. Jakarta nampak redup dari aktivitas setiap tahunnya tepat saat perayaan terbesar umat Islam ini. Hal ini tentu saja karena sebagian besar penghuninya pergi mudik ke kampung halamannya masing – masing. Karena itulah keluarga saya memanfaatkan momen ini setiap tahunnya untuk mengelilingi kota Jakarta. Hal ini cukup menguntungkan saya dalam rangka menyelesaikan tugas ini.

Jakarta memang lebih sepi dari biasanya, tapi juga terlihat semarak saat malam Takbiran. Sejumlah anak – anak menyewa bis kota. Mereka berdesak – desakan di dalamnya dan mengelilingi Jakarta. Tanpa rasa takut, mereka mengibarkan bendera Indonesia atau bendera beberapa partai tertentu entah apa tujuannya, sambil menyanyikan lagu – lagu yang sebagian besar justru tidak bernuansa Islami. Kebanyakan dari mereka hanya bergelantungan di pintu bis atau truk. Bahkan ada yang dengan senangnya melompat – lompat di atas kendaraan yang sedang berjalan. Saya sungguh salut dengan keberanian anak – anak Jakarta ini, menurut saya mereka adalah calon unggul untuk acara adu nyali semacam “Fear Factor”. Walaupun begitu, kegiatan ini terlihat tidak seramai biasanya karena saat malam Takbiran hari pertama, hujan deras mengguyur kota Jakarta.

Seakan ingin menyemarakan Ibu kota yang hening, petasan – petasan dan kembang api tanpa henti berbunyi di setiap ujung Jakarta. Di pinggiran jalan nampak beberapa orang yang menjajakan petasan dan kembang api, nampaknya ini sudah menjadi bisnis musiman yang menguntungkan setiap tahunnya. Awalnya saya terkesan dengan keindahan kembang api di langit, namun lama – lama bunyi petasan dan kembang api yang tidak kunjung henti hingga waktu tidur mengganggu saya dalam menikmati kesunyian kota Jakarta. Perlu diketahui, sebelumnya pihak polisi sudah melarang penggunaan petasan saat Lebaran. Bahkan informasi ini sudah disosialisasikan melalui koran, radio, dan televisi.

Polisi yang bertugas pada saat Lebaran tidak terlihat galak seperti biasanya. Mereka terlihat lebih menyatu dengan masyarakat di dalam merayakan Lebaran, khususnya saat malam Takbiran. “Fly Pass” di perempatan Coca – Cola yang terletak dekat rumah saya, menjadi tempat asyik untuk merayakan takbiran. Polisi dan beberapa pengendara sepeda motor yang biasanya terlihat tegang saat saling bertemu, bisa tertawa lepas bersama sembari melihat pemandangan ibu kota, atau sekadar nongkrong di persimpangan.

Kelapa Gading tempat saya tinggal pada hari biasa merupakan tempat yang sangat ramai. Hal ini dikarenakan di daerah ini terdapat banyak mal, restoran dan pusat perbelanjaan. Tetapi saat malam Takbiran, pemandangan di Kelapa Gading terlihat 180 derajat dari biasanya. Mungkin hal ini dikarenakan mayoritas warga Kelapa Gading tidak merayakan Lebaran. Bundaran Kelapa Gading pada malam hari yang biasanya dipenuhi pengemudi yang tidak sabaran, pada saat lebaran hanya diisi beberapa pengemudi yang mengemudi pelan – pelan. Saat – saat lebaran di Kelapa Gading terasa sangat damai dan sunyi.

Lebaran hari pertama, saya dan keluarga pergi mengunjungi keluarga dan juga kenalan yang merayakan Lebaran. Saat melewati jalan – jalan ibu kota, hasil pengamatan saya adalah semakin mengarah ke Jakarta Selatan, semakin semarak perayaan Lebaran yang terlihat. Bahkan ada satu jalan di kawasan Warung Buncit yang ditutup untuk Sholat Eid karena masjidnya tidak sanggung menampung semua orang. Namun seramai – ramainya Jakarta Selatan, tetap saja tidak semacet hari biasanya.

Suasana Lebaran di rumah – rumah Jakarta tetap sama dari tahun ke tahun. Ketupat dan makanan – makanan bersantan menghiasi meja makan. Orang – orang silih berganti datang dan pergi dari rumah ke rumah untuk mengucapkan “Minal Aidin”. Walaupun saya tidak merayakan Lebaran, saya juga ikut merasakan atmosfer kekeluargaan saat Lebaran yang cukup saya nantikan setiap tahunnya. Salah satu hal mengapa saya suka Lebaran, karena biasanya saudara – saudara sepupu saya yang lebih tua memberikan saya uang jajan. Tahun ini tradisi di keluarga saya pun berjalan sama. Mungkin yang berbeda pada lebaran tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya adalah orang – orang yang sibuk bersilahturami melalui sarana “Blackberry Messenger” jumlahnya meningkat drastis.

Tempat yang paling ramai dikunjungi saat hari Lebaran adalah makam. Tahun ini saya memang tidak sempat berkunjung ke makam Almarhum paman saya di Kalibata. Namun saya sempat melewati daerah tersebut, dan makam di Kalibata terlihat sangat ramai. Berdasarkan pengalaman saya di tahun - tahun sebelumnya, sangatlah susah mencari parkir di makam tersebut saat hari raya Lebaran. Apalagi di trotoar dan lintasan jalan makam ada banyak sekali pengemis yang berebutan untuk meminta sedekah, karena itu rasanya untuk bergerak saja susah. Bukan hanya pengemis saja yang jumlahnya meningkat, begitu juga jumlah jasa pembaca Alquran dan orang – orang yang meminta sumbangan pembangunan masjid. Saat Lebaran menurut saya adalah saat yang paling menyenangkan untuk mereka yang telah meninggal. Karena pada saat inilah setiap tahunnya keluarga mereka datang bersimpati dan membacakan doa – doa untuk mereka.

Yang saya sesalkan setiap tahunnya saat hari Lebaran usai, terlihat banyak sampah berserakan. Bahkan jalan – jalan utama di Jakarta dipenuhi oleh sampah – sampah kertas dan makanan ringan. Saat malam Takbiran, euphoria masyarakat yang merayakan Lebaran selalu saja meninggalkan sampah setelah itu. Pada saat Lebaran hampir semua peraturan terlihat melonggar, mungkin karena Lebaran adalah saat saling memaafkan kesalahan orang lain, atau karena banyak polisi dan petugas kebersihan ikut mudik ke kampung halamannya masing – masing?

Saat mendekati Lebaran bahkan sebelum bulan puasa, Polisi dan juga beberapa Organisasi Islam ramai – ramai menutup tempat – tempat hiburan yang dianggap tidak senonoh. Namun seiring dengan berakhirnya Lebaran, tempat – tempat seperti itu kembali mendapat oksigen. Saya bisa berpendapat seperti ini karena saat malam Lebaran hari kedua saya sempat melewati kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Dari kaca jendela mobil saya, terlihat secara jelas tempat – tempat hiburan seperti itu semakin malam justru semakin ramai. Nampak wanita – wanita berpakaian minim secara beramai – ramai masuk ke dalam tempat 21 tahun ke atas tersebut. Bahkan di pinggir jalan terlihat beberapa anak muda dibawah umur sedang meneguk minuman keras merk import yang tidak murah harganya.

Jakarta pada saat Lebaran tidak pernah berubah setiap tahunnya. Teriakan gembira dari bis kota yang isinya sangat padat seperti ikan sardin dalam kaleng, bunyi petasan dan pemandangan kembang api di atas langit pada saat malam Takbiran, dan juga jalanan yang sepi kendaraan adalah tipikal perayaan Lebaran di ibu kota yang kemungkinan besar akan kita temui lagi tahun depan. Silahturahmi ke rumah mereka yang merayakan Lebaran, memberi sedekah kepada mereka yang membutuhkan, serta mengunjungi dan mendoakan para Almarhum dan Almarhumah menjadi kegiatan wajib yang tidak boleh dilewatkan pada saat Lebaran. Namun saat Lebaran hampir berakhir, banyak juga mereka yang berbuka puasa dengan caranya masing – masing. Ada yang pergi ke masjid, ada juga yang pergi ke diskotik. Saya sendiri tidak ingin melewatkan momen Lebaran di Jakarta, karena kapan lagi bisa merasakan Jakarta bebas macet?

Monday, 13 September 2010

Sungai Kehidupan

Gambar ini dibuat untuk tugas kelas Pemahaman Diri. Sangat sulit bagi saya untuk memilih peristiwa - peristiwa yang dianggap penting dalam kehidupan saya. Setelah saya pikirkan dengan seksama, terpilihlah 7 peristiwa yang saya anggap pantas untuk masuk di dalam komponen "Sungai Kehidupan".